Sudah Pantaskah Kita Makan Tiga Kali Sehari?

Sudah Pantaskah Kita Makan Tiga Kali Sehari?
99judiqq

99judiqq - Beberapa hari yang lalu saya mendengar kesaksian seorang pendeta.
Dia bercerita tentang kehidupannya.
Dalam ceritanya itu menurut saya ada satu hal yang cukup menarik.
Dia bercerita tentang etos kerjanya.
Di awal pekerjaannya sebagai pendeta, dia hanya berkotbah sehari satu kali.
Namun suatu hari dia merasa Tuhan menegurnya.
Bagaimana mungkin dia hanya berkotbah sekali dalam satu hari, padahal makan saja dia bisa lebih dari tiga kali.
Sejak saat itu dia memutuskan untuk berkotbah tiga kali sehari.

Kalau dia makan empat kali sehari, maka dia akan berkotbah empat kali.
Cukup unik bagaimana pendeta ini merasa tertegur oleh nuraninya.
Melalui hal sepele yang tak pernah direnungkan orang lain, pendeta ini akhirnya memiliki etos kerja yang tinggi.
Pendeta itu bernama Stephen Tong, yang kini menjadi salah satu tokoh teologi Reformed terkemuka di dunia.
Seri kotbahnya jika dihitung mungkin sudah berjumlah ribuan, atau lebih saya tak tahu angka pastinya.

Mendengar kesaksiannya yang ditegur lewat makanan, saya pribadi juga jadi seperti harus mengoreksi diri.
Suatu hari saya pernah makan di kantin dengan seorang teman yang baru saya kenal.
Sambil makan kami berbincang-bincang.
Selesai kami makan saya melihat tak satu butir nasi pun tersisa di piringnya.
Piringnya bersih seperti sudah dicuci.
Lalu saya melihat dia memasukkan air sisa di gelasnya ke tempat botol minumnya.

Karena heran sayapun bertanya.
Lalu teman saya itu menjawab kalau dulu dia pernah naik gunung.
Di atas gunung ternyata mereka kehabisan makanan sehingga mereka harus kelaparan.
Sejak kejadian itu dia sangat menghargai makanan.
Maka kalau dia makan pasti selalu habis.
Lalu bagaimana dengan kita?


Adakah kita terlalu banyak menikmati hidup tapi tak mengeluarkan tenaga yang sesuai untuk mengerjakan suatu hal yang berguna.
Dalam dunia kerja misalnya, setiap bulan kita menerima upah, sudahkah upah yang kita terima jauh lebih besar dibandingkan tenaga yang kita keluarkan.
Kitab suci berkata,"Jika kamu tidak bekerja janganlah kamu makan!"

Pertanyaan ini berlaku juga untuk hal lain.
Apakah jam tidur kita lebih panjang dari jam kerja kita? Apakah jam istirahat kita di kantor lebih lama dibanding jam produktif kita? Dalam hal ini memang rasa malu kita diuji.
Jika kita masih punya rasa malu pasti kita akan tertegur.
Bekerja dan makan berbicara tentang sebuah keseimbangan.

Jika manusia makan banyak dan mengeluarkan tenaga sedikit, maka makanan yang dikonsumsi akan jadi penyakit karena tidak dibakar menjadi energi.
Maka manusia perlu menggerakkan tubuhnya dan melakukan pekerjaannya mengingat dia memperoleh asupan yang seharusnya.
Bekerja dan makan juga berbicara tentang memberi dan menerima, atau mengeluarkan dan mendapatkan.

Makanan disini walaupun diartikan secara harafiah, tapi bisa diperluas menjadi hal-hal yang sudah kita terima.
Seperti gaji, fasilitas, kesehatan, usia, kecerdasan, hingga bakat.
Ada yang bilang hidup bukan soal durasi, tapi kontribusi.
Maka pertanyaannya adalah, sudah pantaskah kita menerima gaji sekian sementara kita kerja malas-malasan.
Jika tiap bulan saya menerima gaji pokok dan tunjangan bukankah seharusnya saya bekerja dua kali lipatnya?

Demikian juga jika kita diberi fasilitas lebih oleh kantor, bukankah hasil kerja kita harus dua kali lipat lebih baik dibanding mereka yang tidak mendapat fasilitas apa-apa? Serupa juga dengan kesehatan, apakah dengan tubuh yang sehat kita justru pelit tenaga? Jika stamina kita jauh lebih baik dibanding orang lain bukankah seharusnya kita mengangkat lebih banyak beban yang ada? Jika usia kita lebih muda bukankah kita harus lebih sering untuk lebih dulu menyapa yang lebih tua? Demikian juga dengan bakat dan usia sudahkah kita memberi kontribusi sebagaimana mestinya?

Hubungan antara kerja dan makan juga bicara tentang keadilan.
Suatu hari saya mendengar orang bercerita, dia mengeluh karena harus sering bantu-bantu pamannya.
Jadi ceritanya dia merantau, dan numpang tinggal di rumah pamannya itu.
Buat saya keluhannya itu aneh.
Bukankah dia ditampung, diberi tempat berteduh dan diberi makan gratis di rumah pamannya?

Adalah sebuah aib, saat kita menumpang di rumah saudara, makan disana, tapi tak tahu dan tak mau beri tenaga untuk bekerja.
Saya pribadi mengalami tinggal di rumah saudara.
Maka saya tahu diri saja.
Saya yang mengepel, cuci piringnya, bantu usaha mereka dan lain sebagainya.
Maka bekerja dan makan juga berbicara tentang hubungan manusia dan penciptanya.

Saat segala kebutuhan jasmani sudah dicukupkan oleh yang Kuasa, adakah kita mensyukurinya lewat perbuatan.
Sudahkah kita bekerja lebih atau minimal sesuai upah yang telah kita terima.
Di luar sana ada banyak orang yang mungkin hanya makan sekali sehari, itupun dengan lauk pauk yang tidak memenuhi standar gizi.
Di satu sisi kita makan lebih dari tiga kali sehari, dengan menu yang memenuhi kebutuhan nutrisi.
Belum lagi ngemilnya.

Maka mari kita renungkan, sudah pantaskan kita makan tiga kali dalam sehari? Apa yang harus kita kerjakan agar kita layak menerima sesuatu yang sudah diberikan sang pencipta? Dalam hal ini kita mempertanyakan kenikmatan yang sudah kita terima dan sudahkah kita berlaku adil di dalamnya.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer

Label

Arsip Blog

Postingan Terbaru