99judiqq
99judiqq - Teknologi dikembangkan untuk membantu manusia, memudahkan manusia melakukan banyak hal.
Teknologi seharusnya membuat kehidupan manusia lebih bermartabat, termasuk dalam hal negara melakukan surveilans terhadap warganya.
Salah satu contoh aplikasi teknologi surveilans yang sudah digunakan luas dan membuat kehidupan lebih bermartabat adalah traffic enforcement camera atau sebut saja kamera pengawas lalulintas.
Di banyak negara, penggunaan kamera ini menekan tingkat kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas.
Misalnya di Inggris.
Setelah pemerintah memasang kamera di lampu merah dan tepi-tepi jalan, jumlah orang cedera akibat tabrakan turun 22% dan jumlah korban meninggal atau cedera berat turun 44%.[1]
Mungkin karena takut ada kamera
seperti takut ada polisi berjaga-jaga
orang menjadi lebih tertib.
Menjadi lebih tertib berlalu lintas berarti lebih bermartabat, lebih beradab.
Selain itu, polisi juga tidak perlu dijemur di bawah panas matahari untuk mengatur lalulintas atau menakut-nakuti para calon pelanggar.
Masyarakat yang minim penampakan polisi di tengah keramaian tetapi tepat terjamin keamanannya adalah masyarakat yang beradab.
Menjadi lebih bermartabat lagi karena penegakkan disiplin berlalulintas tidak disertai drama polisi meludahi pengemudi atau sebaliknya emak-emak nabok polisi pakai helem.
Dengan adanya kamera, siapapun yang melanggar lalulintas tinggal menanti tagihan denda dikirim ke rumahnya.
Kalau melanggar berulang kali SIM-nya akan otomatis tercabut.
Kamera juga tidak bisa disogok, sebab kamera tidak butuh uang untuk membeli gula pasir dan tepung terigu saat hari raya.
Kian rendah kasus sogokan kepada aparat, kian beradab masyarakat itu.
Saya lihat di Indonesia pun sudah banyak terpasang kamera di lampu merah dan sejumlah koridor jalan.
Hanya saja di sejumlah tempat, semisal di Kota Kupang, meski sudah ada kamera yang bertengger di tiang lampu merah, masih perlu pula penempatan sejumlah polisi.
Saya tidak tahu mengapa.
Saat ini, ketika dunia dibuat pusing oleh pandemi corona, teknologi kembali membantu sejumlah pemerintahan untuk memudahkan penerapan langkah-langkah menekan laju penularan.
Salah satunya adalah pemerintah Kota Hongkong.
Otoritas Hongkong menggunakan teknologi untuk memastikan orang-orang yang baru saja datang dari tempat lain tertib menjalani karantina mandiri selama 14 hari.
Di bandara, para penumpang tiba diminta mengisi form.
Setelah itu mereka dipakaikan gelang elektronik (electronic wristbands) yang terkoneksi dengan telepon pintar si pemakai.
Gelang ini berfungsi sebagai detektor keberadaan pemakai.
Kurang lebih seperti yang kita lihat dalam film-film spionase Hollywood.
Jika dalam masa 14 hari karantina si pemakai gelang tadi ke luar dari rumah, keberadaannya langsung terdeksi.
Si pelanggar akan dikenakan denda 5000 dollar hongkong (644 dolar AS) atau sekitar Rp 11 juta pada kurs Rp 17 ribu per dollar AS ditambah penjara 6 bulan.
Dengan teknologi ini pemerintah Hongkong bisa meminimalisir mobilisasi polisi untuk membubarkan pengunjung kedai, kerumunan di tempat keramaian, atau pesta kawin.
Maka sedikit kemungkinan terjadi drama ludah-ludahan dan gampar-gamparan antara rakyat dan polisi.
Apakah Indonesia bisa menerapkan ini?
Sepertinya susah.
Masih cukup banyak orang Indonesia tidak punya telepon pintar.
Untuk Indonesia, langkah paling penting untuk menjamin tertib karantina pribadi bagi ODP, PDP, dan positif corona bergejala ringan (yang tidak harus dirawat di RS) adalah menjamin pasokan bahan pangan untuk mereka, plus talangan kebutuhan hidup lainnya.
Tanpa ini, orang terpaksa keluar rumah, baik untuk bekerja mencari nafkah atau untuk kepasar membali bahan pangan.
Jadi lebih bijak memastikan seluas-luasnya warga negara mendapatkan dukungan pemenuhan kebutuhan di tengah krisis daripada aksi Presiden Joko Widodo turun langsung bagi-bagi sembako kepada tukang ojek online.
Aksi yang terakhir tadi, selain rentan disindir pencitraan, juga berpotensi sulit diaudit sebab pembagiannya sporadis di jalan-jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar