Demo Solidaritas Untuk George Floyd Jadi Demo Anti Trump, Mengapa?

Demo Solidaritas Untuk George Floyd Jadi Demo Anti Trump, Mengapa?
99judiqq

99judiqq - Meskipun bala bantuan dari pasukan keamanan nasional telah diterjunkan di beberapa kota dan negara bagian tetapi gelora demonstrasi solidaristas terhadap George Floyd bertajuk "I Can't Breath" semakin tak terkendalikan.

Setelah Atlanta, Dakota, New York, Boston, dan Michigan, kini demonstrasi merambah California dan Washington DC bahkan menyasar hingga ke gerbang Gedung Putih (White House) simbol pemerintahan kantor presiden Amerika Serikat.

Washington dan California yang relatif tenang dalam sepekan terakhir kini tak luput dari demo "solidaritas" terhadap Floyd dengan thema "I Can't Breath" mengutip kalimat terakhir Floyd sebelum meninggal dunia di tangan 4 polisi Minneapolis (MPD) pada 25/5/2020 lalu.

Kerusuhan di California dan lainnya mengakibatkan penjarahan massif dimana-mana.
Jam malam dan ancaman hukuman tidak membuat warga berhenti berdemo.
Demonstrasi di California telah menjurus penjarahan hebat  terjadi diamana-mana.


"Looting/penjarahan pun terjadi dimana mana , walaupun ada jam malam , tapi orang yg berdemo tetap jalan terus," komentar Sirpa yang telah jadi warga negara AS dan lama menetap di California di sini.

Informasi yang tertuang dalam komentar itu memang demikian faktanya karena penjarahan dan pengrusakan terjadi dimana-mana dan dapat dilihat dari Youtube dan siaran berita video berbagai media barat.
Salah satunya penulis capture dari tayangan France 24 pada 1/6/2020.
Dalam tayangan itu memperlihatkan sebuah toko alat musik di sudut kota California sedang dijarah.
Beberapa anak muda berkulit hitam leluasa mengambil gitar-gitar "kesukaan".

Toko alat musik dijarah pendemo.
Berbagai media telah menyampaikan informasi gerakan massa di New York dan Washington sangat banyak, gelombang pendemo menuju ke Gedung Putih terus berdatangan meskipun akses utama ditutup.
Donald Trump menanggapinya dengan mengkambing hitamkan kelompok anti fasis (ANTIFA) dan Radikal sayap kiri sebagai kelompok penentang pemerintahannya yang menjadi penggerak kerusuhan tersebut.
Secara singkat dan tegas Trump menuduh kelompk ANTIFA adalah kelompok Teroris.

Pernyataan melalui akun twitternya pada 31 Mei 2020 lalu ditanggapi sebaliknya oleh Gubernur Minnesota. "Kaum "white supremacy" menjadi provokator atau dalang kerusuhan massal paling parah tersebut.

Kelompok White Supremacy adalah kelompok kulit putih yang menganggap ras superior dibanding ras manapun.
(Penulis sepintas mengira mungkin kelompok ini mirip dengan cara pandang Neo Nazi-red).

Terlepas kelompok mana yang berperan atau mengambil kesempatan dalam kerusuhan di AS, faktanya ciutan Donald Trump telah memantik masalah baru yaitu ribuan pendemo menggeruduk hingga ke pagar Gedung Putih.

Melihat situasi sangat buruk dan tidak ingin mengambil risiko satuan pasukan kemanan presiden memindahkan Donald Trump ke bunker bawah tanah yang disebut " The Presidential Emergency Operations Center" disingkat PEOC.
Bungker ini memang telah tersedia sejak lama di sana dan dijadikan sebagai salah satu cara dan fasilitas protokoler kemanan Presiden AS.

Menurut informasi Trump dan istrinya Melanie serta anak lelakinya Barron tidak lama berada di sana.
Sekitar 1 jam kemudian Trump kembali bertugas di gedung Oval.

Sebelum Trump, Presiden terakhir adalah George W.
Bush pernah diungsikan beberapa hari ke sana pada saat perisitiwa 11 September 2001.
Di bunker yang dibangun pada kedalaman 232 meter di bawah tanah tesebut itulah Donald Trump dan Presiden AS lainnya mendapat fasilitas pengawalan dan (akan) terhubung ke bunker Pentagon (DUCC) dan Kemeterian Luar Negeri di bawah sungai Patomac.

Tampaknya kini telah terjadi pergeseran demo solidaritas terhadap Floyd berubah jadi antipati pada Trump yang pernah memperingatkan Presiden China XI Jin-Ping pada Agustus 2019 lalu agar menemui para Demonstran Hongkong.

“If President Xi would meet directly and personally with the protesters, there would be a happy and enlightened ending to the Hong Kong problem,” kicau Trump pada 15 Agustus 2019.

Hampir mirip dengan itu, menanggapi amukan demonstrasi di Iran, Trump kembali menyindir pemimpin Iran pada 12 Januari 2020.
"DO NOT KILL YOUR PROTESTERS. Thousands have already been killed or imprisoned by you, and the World is watching," tulisnya mengejek Ayatollah Rouhani.

Tapi apa yang terjadi ketika mengintai seantero AS? Selain menambah kekuatan pasukan keamanan di segala penjuru negara bagian Trump juga telah menyiapkan pasukan Screet Service untuk melepas anjing-anjing ganas mereka memburu pendemo.

Dan ketika itu peristiwa itu kini menghampiri Gedung Putih ternyata Trump menyikapinya dengan "senjata" benar-benar ampuh selama dia tahu. Yaitu akan melepaskan anjing-anjing ganas milik pasukan Screet Service yang biasanya digunakan untuk merendahkan dan melumpuhkan teroris.

Tapi apa yang terjadi setelah itu? Dalam demo terkini di Washington sebanyak 50 agen dari satuan Secret Service dilaporkan terluka dalam bentrokan dengan pendemo yang semakin ganas setelah "tantangan" Donald Trump di atas.

Sejumlah contoh sikap Trump dalam mengatasi pendemo di atas mungkin kini jadi bumerang bukan saja untuk Trump tapi juga bagi AS meskipun antipati terhadap Trump juga telah lama ada sebelum peristiwa demo solidaritas ini muncul.

Tanpa bermaksud mendahului, melihat sikap dan cara Trump selama ini tampaknya tidak ada toleransi terhadap apapun yang mencoba mengubah target "Make America Great Again" apalagi terhadap lawan-lawannya yang mendompleng dalam aksi solidaritas terhadap George Floyd tapi bertujuan menjatuhkan kekuasannya seperti ia tuduhkan.

Apapun akhirnya nanti pastilah Trump lebih tahu bagaimana menghadapi kondisi terburuk sekaligun.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer

Label

Arsip Blog

Postingan Terbaru