99judiqq
99judiqq - Dalam tataran kehidupan orang Flores, budaya merantau kian melekat di tengah masyarakat.
Bisa dipastikan banyak orang Flores merantau ke Jakarta, Kalimantan, Makassar dan beberapa kota lain.
Bahkan ada juga yang merantau keluar negeri seperti Malaysia.
Mereka merantau tentunya didasari keinginan dan semangat survival mengubah nasib kearah yang lebih baik.
Kemudian diikuti beberapa alasan lain yang tidak bisa dipungkiri, misalnya karena masalah ekonomi dan diskursus latar belakang keluarga yang tidak mendukung.
Kebanyakan dari mereka yang memutuskan pergi merantau ini adalah generasi muda yang berasal dari keluarga petani (baca; serba tak berkecukupan).
Sebagai profesi alternatif, pertanian di desa sedemikian ditinggalkan.
Yang ada di desa kini tinggal ibu-ibu hingga orang tua yang sudah uzur dan tidak berproduktif lagi untuk bekerja dan menggarap lahan.
Konsekuensinya logisnya, setelah mereka pergi, banyak lahan garapan yang di tinggal tidur dan tidak fungsikan lagi.
Dengan begitu pos pendapatan dari sektor pertanian kian gempes.
Satu-satunya sandaran hidup keluarga kini bermuara dari hasil kerja di tanah rantauan itu.
Pada kondisi lain, banyak diantara angkatan muda ini yang memilih menjual tanah miliknya sebelum pergi merantau ke kota-kota besar.
Entah, dari dana hasil penjualan tanah ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup selama masa awal di tanah rantauan.
Kota menjadi tujuan merantau dan tumpuan hidup.
Bagaimana tidak, kota seringkali digambarkan dengan kesejahteraan, kota seringkali dikisahkan dengan hidup bahagia.
Tapi siapa sangka, kota adalah sebuah gelanggang pertarungan hidup yang amat keras.
Sesekini kota adalah simbol perjuangan, di mana yang kuat akan semakin kuat dan yang lemah, miskin dan tersingkir akan makin terhimpit.
Kota menjadi lahan manipulasi, kota menyimbolkan ruwetnya politik kotor dan busuk.
Sayang, masih banyak yang mengimpikan pergi ke kota dan mengadu nasib di tengah ketidakpastian, semetara meninggalkan kepastian yang teramat melimpah di kampung halaman.
Di kampung, lahan-lahan garapan di gadai untuk mengadu ketidakpastian di tembok-tembok kota yang tidak pernah ramah selain angkuh dan sombong.
Padahal bila di suruh untuk memilih, kampung halaman juga menyimpan segepok kebahagiaan.
Intinya hidup di desa adalah menekuni, menjalani kepastian yang ada didepan mata.
Mengolah lahan bukan dengan menggadai dan menjualnya.
Tanah musti di garap bukan mendambakan mukjizat (utopis) di tanah rantau.
Betapa semangat para perantau ini berjuang demi menghidupi sanak keluarga.
Prinsipnya bahwa, merantau selalu dikaitkan dengan kesuksesan.
Banyak orang yang pada akhirnya punya kehidupan yang lebih baik setelah memutuskan untuk merantau.
Meski ada juga yang bernasib sial dan kurang beruntung.
Tapi sekali lagi, merantau sudah menjadi bagian dari tataran kehidupan orang flores, bahkan sudah menjadi budaya tersendiri.
Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, seketika banyak orang yang pergi merantau ke kota, kini kampung terasa sepi dan tidak terlihat banyak aktivitas di luar.
Tampak, lahan perkebunan tidak lagi terawat, persawahan kini kering, dan produktivitas pertanian menurun setiap tahunnya.
Sekadar motivasi saja, untuk kawan-kawan yang kini berada di tanah rantauan, pun yang berniat merantau, agar jangan lupa akan tujuan utama kita merantau.
Selebihnya, bagaimana belajar menghemat dan lebih bijak mengelola keuangan.
Selebihnya berpikir untuk memanfaatkan apa yang kita pelajari untuk membuka peluang baru ketika sudah waktunya pulang kampung.
Jujur, kami di kampung sangat ingat kalian semua.
Bahwasanya, kalau sudah sukses, jangan lupa untuk pulang dan bersama-sama membangun kampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar