99judiqq
99judiqq - Konvensi Partai dan Mereka yang tersisih
Kurang lebih dalam waktu sebulan lagi Partai Republik maupun Partai Demokrat akan menggelar Konvensi untuk menentukan Capres dan Cawapres masing-masing.
Sudah banyak sekali para calon kandidat dari masing-masing partai berguguran menjelang Konvensi.
Sebut saja nama-nama besar calon kandidat partai demokrat seperti Multi-Milliader sekaligus walikota New York (2002-2014), Michael Bloomberg yang harus tersisih di awal pertarungan setelah menerima hasil yang buruk pada Pemilihan Pendahuluan (Super Tuesday) pada tanggal 3 Maret 2020, karena hanya mengantongi hanya 49 delegasi dari total 1.357 delegasi.
Kemudian ada nama Veteran Pemilu AS , Bernie Sander yang berhasil menempel ketat saingannya Joe Biden, namun pada tanggal 13 april 2020 dia mengundurkan diri dan memberikan Endorsement politiknya kepad Biden.
Berbeda dengan Demokrat, persaingan pencalonan presiden Partai Republik sepenuhnya didominasi oleh Donald Trump.
Trump terhitung mengantongi 2.043 delegasi dari total 2.044 delegasi.
Pada Konvensi yang akan digelar Agustus nanti diperkirakan tidak akan terlalu banyak kejutan.
Partai Republik hampir pasti akan mengusung kembali Trump dan Pence sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden mereka.
Demikian juga Partai Demokrat hampir pasti mengusung Joe Biden sebagai Calon Presiden mereka.
Sorotan media mungkin akan tertuju pada perebutan kursi Calon Wakil Presiden yang akan mendampingi Biden, karena sampai saat ini belum ada nama yang begitu mendominasi.
President Tweety vs Sleepy Joe
Ketika berurusan dengan Pemilihan Presiden , Trump adalah "Sesuatu".
Kita masih ingat betul ketika Trump secara mengejutkan memenangkan Pilpres AS tahun 2016.
Padahal lawannya kala itu Hillary Clinton secara konsisten selalu unggul dalam setiap jejak pendapat.
Lantas kenapa hal itu bisa terjadi ?
Menurut Alessandro Naia & Jrgen Maie (2018) dalam jurnalnya yang berjudul "Perceived personality and campaign style of Hillary Clinton and Donald Trump" menyebutkan bahwa Negative Campaign sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi Pilplres AS tahun 2016.
Negative Campaign dijeskan oleh (Nai & Walters 2015) sebagai upaya saling mengkritis dan menyerang lawan, alih-alih mempromosikan diri sendiri.
Dalam hal menyerang Trump adalah yang terbaik.
Pada tahun 2016 Bloomberg memperkirakan Trump menghabiskan $68.0 M untuk pembelian media kampanye, dimana investasi terbesar difokuskan kepada televisi dan digital sebagai " Senjata " kampanyenya.
Kemudian pertanyaan selanjutnya bagaimana cara Trump "Mengisi Senjata" kampanyenya dan mengarahkan ke lawannya yaitu Hillary Clinton?
Menurut the Guardian dalam artikel berjudul "You have to respond forcefully: can Joe Biden fight Trump's brutal tactics? " pada Pilpres AS tahun 2016 Trump melakukan Negative Campaig-nya melalui tiga metode yaitu Name-calling (Memberi Julukan), conspiracy-peddling (Menjajakan Konspirasi) dan grievance-airing (Menyiarkan Keluhan).
Ketiga cara itulah yang membuat Hillary Clinton kalah dan bahkan jurus tersebut sudah diluncurkan jauh-jauh hari untuk menjegal kompetitornya Joe Biden dari pencalonan.
Kala itu Trump mencoba menekan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk melakukan investigasi "Dugaan Korupsi" yang dilakukan oleh Hunter Biden putra Joe Biden.
Sayangnya rencana Trump gagal karena ada Whitsle Blower yang membocorkan rencananya.
Partai Demokrat tidak tinggal diam melihat calon kandidat presiden mereka coba dijegal oleh Trump melalui konspirasi dugaan korupsi Perusahaan Burisma milik putra Joe Biden.
Partai Demokrat melalui kadernya di DPR sekaligus Ketua DPR AS Nancy Pelosi menginisiasi pemakzulan Donald Trump.
Meskipun pada akhirnya Trump lolos oleh Senat AS yang dikuasai Partai Republik, hal tersebut tentu saja memberikan tamparan kepada Trump dan menggerus citra politiknya.
Mungkin isu Dugaan Korupsi Biden dan isu Pemakzulan Trump akan sama-sama kembali diangkat menjelang Pemilihan.
Jurus selanjutnya yang dikeluarkan Trump adalah memberikan julukan kepada Joe Biden.
Trump melebeli Biden dengan nama panggilan "Sleepy Joe". Joe Biden kemudian membalas dengang memanggil Trump "President Tweety".
Julukan itu diberikan Biden karena kebiasaan Trump bermain Twitter dan mengibaratkan Trump seperti Tweety karakter burung kenari kecil berwarna kuning dalam kartun Looney Tunes.
Trump juga di setiap kesempatan mencoba menyerang Biden melalui Twitternya, seperti memojokan Biden seolah-olah Pro terhadap Tiongkok dan mengibaratkan Biden adalah sosok yang lemah dan tidak dapat berhadapan denga Tiongkok.
Biden juga berbalik menyerang Trump dengan mengatakan Trump gagal dalam mengendalikan CO-VID 19 dan menyebabkan krisis ekonomi di AS.
Pertarungan antara Trump dan Biden yang sebenarnya baru akan dimulai saat masa kampanye September nanti.
Trump sebagai Incumbent seharusnya berada dalam posisi yang lebih diuntungkan.
Namun, Biden tentu saja tidak akan ceroboh.
Kegagalan Hillary Clinton pada Pilpres AS tahun 2016 tentu saja memberikan pelajaran yang berharga untuk dimanfaatkan Biden.
Kritik Pilpres Indonesia tahun 2019 yang tidak greget
Pilpres Indonesia tahun 2019 banyak didominasi berita Hoax dan Buzzer Politik.
Hampir sama memang dengan yang terjadi di Pilpres AS tahun 2016.
Namun pertarungan Trump dengan Hillary memberikan sedikit gairah dalam demokrasi AS.
Saling kritik dan sindiran yang saling dilontarkan terkait rekam jejak, kebijakan dan karakter masing-masing Capres AS memberikan pengetahuan dan sudut pandang baru kepada pemilih di AS.
Kampanye negatif selama tidak mengandung unsur kebohongan publik masih dapat diterima.
Sayangnya itulah yang tidak dirasakan dalam Pilpres Indonesia kemarin.
Para capres yang berkontetasi kurang saling memberikan kritik pada saat debat, bahkan saling memuji memberikan kesan mereka sedang main aman.
Semestinya Indonesia perlu mencontoh AS dalam meningkatkan iklim demokrasi yang lebih bergairah, seperti membahas isu-isu yang krusial, mengkritisi kebijakan yang dibawa hingga rekam jejak yang dibahas tuntas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar