Bahaya Arogansi Orangtua Perokok

Menyoal Bahaya Arogansi Orangtua Perokok
99judiqq

99judiqq - Jagat Twitter baru-baru ini dihebohkan dengan video viral "satu keluarga merokok untuk menghalau corona", berita lengkapnya bisa dibaca di sini.
Lebih mirisnya lagi, dalam video itu bukan hanya orang dewasa tapi anak-anak dibawah umur juga ikut dilibatkan.
Meskipun rokok yang dihisap "diklaim" sebagai rokok herbal, tetap itu bukan tindakan yang sepatutnya dilakukan orang tua.

Saya pribadi tidak habis pikir, bagaimana bisa dalam benak seseorang mengambil kesimpulan bahwa merokok dapat menghalau corona? Padahal kalau kita bicara riset, perokok justru lebih rentan terhadap virus ini karena jelas mengganggu sistem pernafasan.
Tanpa kita perlu paparkan data resiko merokok, perokok pun pasti sudah paham dengan bahaya merokok.

Tanpa bermaksud mendiskreditkan perokok-karena tentu merokok adalah hak masing-masing pribadi, tetapi poin pembahasan saya dalam artikel ini lebih kepada permasalahan orang tua perokok dalam pengertian arogan.

Perlu saya garis bawahi, pengertian arogan disini lebih kepada sikap ketidakpedulian orang tua ketika merokok di dekat anaknya, terutama anak dibawah umur.


Karena menurut saya ini jauh lebih berbahaya dibanding kita bicara bahaya merokok, yang biasanya akan berakhir dengan perdebatan yang tak ada ujungnya.
Karena sekali lagi, masalah rokok itu masalah multidimensi, melibatkan banyak faktor didalamnya.

kita tidak bisa menampik bahwa seseorang yang kecanduan merokok, tak jauh beda dengan kecanduan narkotika misalnya.
Sebuah kebiasaan yang menjadi candu dalam artian negatif, punya resiko negatif juga. Begitu juga sebaliknya, bila kencanduan dalam arti positif, misal menulis-membaca, maka output-nya pun juga positif.

Orangtua, Anak Anda Bukan Korban Egomu!

Entah sudah berapa kali saya menyaksikan orang tua yang merokok di sebelah anaknya, terutama anak yang masih kecil.
Salah satu kasus diatas tadi, adalah dampak terburuk dari arogansi orang tua perokok.
Padahal sebagai orang tua, diskresi diri sebagai perokok juga memegang peranan penting.

Pemandangan orang tua yang merokok di dekat anaknya yang masih kecil ini bisa kita jumpai di manapun, tidak terbatas pada golongan tertentu saja.

Di salah satu kedai kopi yang cukup terkenal, saya juga pernah melihat ayah yang merokok di sebelah anaknya yang masih kecil, sedangkan sang anak sibuk bermain gadget.

Jadi bila bicara faktor, sebetulnya kita tidak bisa menarik kesimpulan bahwa ini disebabkan oleh keadaan ekonomi atau tingkat edukasi seseorang, tapi lebih karena kurangnya kesadaran atau "awareness" dari orang tua perokok ini.

Padahal jika benar perokok pasif lebih berbahaya dari perokok aktif, seharusnya orang tua menyadari hal ini sepenuhnya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, kesadarannya justru dikesampingkan.

Bila bicara resiko terkena paparan asap rokok pada anak, intensitasnya jauh lebih tinggi dibanding paparan terhadap orang dewasa, mengingat anak-anak masih dalam tahap pertumbuhan dan cukup rentan penyakit.
Pada anak-anak resikonya jauh lebih besar seperti pneumonia, meningitis (radang selaput otak), bahkan resiko kematian bayi mendadak.

Saya pribadi sangat mengapresiasi orang tua (terutama ayah) yang mau meninggalkan kebiasaan merokok ketika dia menikah.
Ada beberapa teman di kantor tempat saya kerja dulu yang juga berhenti merokok setelah nikah, ayah saya pun juga melakukan hal yang sama.

Beberapa teman yang masih bertahan merokok, biasanya hanya merokok di tempat kerja, sedangkan ketika pulang ke rumah dia sudah berganti pakaian yang dibawa sebelumnya.
Tentu saja karena di rumah ada anaknya yang masih kecil.

Kesadaran atau "awareness" ini sebetulnya adalah kuncinya.
Bila ukurannya adalah demi tumbuh kembang anak yang maksimal, tentunya sikap egois semacam itu bisa dikesampingkan.
Anak-anak ini belum bisa memahami dampaknya, dan sudah selayaknya untuk tidak dijadikan "korban" keegoisan orang tuanya.

"Mengajarkan" bukan "Mencontohkan"

Anda yang mungkin sering memperhatikan acara "stand up comedy" Pandji Pragiwaksono, akan tahu cerita pengalamannya bagaimana dia tidak merokok meskipun orang tuanya perokok.
Narasi ceritanya kira-kira begini ; Pandji saat itu melihat ibunya merokok di depan teras, karena penasaran dia menanyakan bagaimana rasanya merokok, si ibunya menyuruh pandji mencoba dan dia terbatuk-batuk.

Bila kita bedah, sebetulnya cara "mengajarkan" tidak harus se-ekstrem itu, itu hanya salah satu contoh saja. Karena sebetulnya masa anak-anak ini masa dimana mereka belum dapat memilah apa yang baik dan buruk. Sehingga disitulah peran "mengajarkan" memegang peranan penting. Contoh tadi memberi sedikit gambaran, bahwa ketika Pandji sebagai anak kecil tahu bahwa rasanya merokok itu menyakitkan, memori itu akan melekat padanya sampai dewasa, sebagai akibatnya dia tidak merokok. Sederhananya begitu.

Edukasi dini soal rokok itu sama pentingnya dengan edukasi seks dan narkoba pada anak.
Beberapa orang tua jaman dulu, terutama orang tua gen x pasti dilarang untuk membicarakan masalah yang dianggap tabu oleh orang tuanya.

Sebagai akibatnya, anak-anak yang tidak mendapatkan pengajaran sejak kecil, ketika dia dewasa bisa melakukan hal-hal yang kebablasan, sebagai contoh hamil diluar nikah misalnya.
Bagaimana tidak kebablasan, kalau orang tuanya justru tidak mengajarkan pendidikan seperti itu sejak dini pada anak? Jadi ya jangan salahkan anaknya.

Harapan saya, bagi orang tua perokok yang punya anak kecil khususnya, bisa lebih "aware" dengan siapa yang ada di sekitarnya.
Kita harus sama-sama menyadari, bahwa anak-anak bukan korban dari keegoisan kita. Dan sudah sepatutnya begitu.

 "Merokok adalah pilihan, Berhenti adalah mindset."
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer

Label

Arsip Blog

Postingan Terbaru