Anak dan Gawai: 3 Kesalahan Orangtua Ditebus dengan 3 Langkah "Pertobatan"

Anak dan Gawai: 3 Kesalahan Orangtua Ditebus dengan 3 Langkah "Pertobatan"
99judiqq

99judiqq - Pemandangan yang jamak kita saksikan saat Idul Fitri ketika belum ada anjuran jaga jarak sosial dan individual- anak-anak balita, anak usia sekolah dasar, dibiarkan leluasa memainkan HP.
Sementara orangtua mereka asyik berbincang dengan tamu atau sesama anggota keluarga.

Anak-anak itu tersedot perhatiannya oleh dunia yang ditampilkan layar HP.
Biasanya mereka suntuk memainkan game.

Situasi yang riuh oleh obrolan atau gelak tawa orang-orang dewasa tidak membuat anak-anak mengalihkan tatapan matanya dari layar HP.
Dunia dalam diri anak terputus secara sangat ekstrem dari dunia di sekelilingnya.

Tidak jauh berbeda dengan situasi di warung kopi yang menyediakan fasilitas wifi.
Anak-anak remaja kumpul bersama.
Tidak saling berbicara karena perhatian mereka tertuju pada game atau tayangan YouTube.

Mereka bersama-sama tapi ditelikung oleh kesendirian.
Kebersamaan dalam kesendirian.

Sayangnya, membiarkan anak bermain HP tanpa pengawasan yang memadai kerap dijadikan jalan pintas.
Ketimbang anak rewel, merajuk, atau mengalami tantrum, orangtua memilih menyerahkan HP-nya.

Anak memang tidak rewel karena nyaris semua perhatian, minat, dan emosinya tertuju pada apa yang ditonton atau dimainkan.

Apabila hal ini dianggap sebagai jalan keluar yang taktis dan praktis, sehingga orangtua tak mewaspadai dampak dan akibatnya pada anak, maka keputusan ini tak ubahnya menggali lubang bahaya bagi masa depan anak.

Bukan hanya di Indonesia.
Pada 2017 murid kelas tiga sekolah dasar di Amerika yang memiliki HP sebesar 45 persen.

Mungkin orangtua di Indonesia tidak membelikan HP untuk anaknya yang duduk di sekolah dasar.
Namun, anak-anak bisa mengakses dunia maya secara leluasa atau bermain game secara bebas seakan HP ini menjadi milik mereka.

Memiliki atau meminjam HP orangtua tak ada beda walaupun tetap harus dihitung juga akibat dan dampaknya ketika orangtua membelikan HP anaknya.
Apalagi secara resmi HP itu telah menjadi milik sang anak.

Riset 4.500 murid sekolah dasar di Amerika melaporkan, penggunaan telepon seluler di sekolah melibatkan anak dalam penindasan dan cyberbullying.
Seorang anak bisa menjadi korban sekaligus pelaku perundungan.

Cukup sudah.
Kita tidak perlu menampilkan fakta dan bukti lainnya agar waspada dan bijaksana mengelola penggunaan HP pada anak.

Para orangtua tengah dihadapkan pada dua sisi mata uang:
informasi yang melimpah di dunia maya dan dapat dioptimalkan sebagai bahan belajar bagi anak dan akibat negatif yang menyertai keterbukaan informasi.
Alih-alih mewaspadai dampak penggunaan HP yang berlebihan pada anak, orangtua kerap melakukan tiga kesalahan ini secara tidak sadar.

Pertama, tidak mengatur batas penggunaan HP.
Telah disinggung di atas, HP menjadi alat yang taktis dan praktis bagi orangtua untuk mengatasi kerewelan anak.

Kalau kita mengamati perilaku orangtua di tingkat sosial ekonomi tengah hingga bawah, mereka seakan bangga anak balita mereka bisa memainkan HP secara mandiri.

Raut wajah mereka seolah berkata, "Lihat, anakku memiliki kecerdasan yang tinggi.
Dia bisa mengoperasikan alat yang canggih."

Kedua, tidak memiliki aktivitas keluarga yang bebas dari HP atau dunia maya.
Ini sederhana sehingga kerap diremehkan.
Nyaris dalam 24 jam kita, para orangtua, dan pasti juga anak-anak terhubung dengan dunia maya.

Perusahaan riset GlobalWebIndex yang bermarkas di London menganalisa data dari 45 pasar internet terbesar dunia dan memperkirakan bahwa waktu yang setiap orang alokasikan untuk media sosial meningkat dari 90 menit per hari pada tahun 2012 menjadi 143 menit pada tiga bulan pertama tahun 2019.

"Pengguna internet sekarang menghabiskan lebih dari enam jam online setiap harinya, dan sepertiga dari waktu tersebut ditujukan untuk media sosial," ujar Chase Buckle, manajer tren GlobalWebIndex.

Bagaimana di Indonesia? Data APJII yang dirilis hari ini, Senin (19/2/2018), menunjukkan, rata-rata penggunaan internet oleh masyarakat Indonesia adalah 1-3 jam dalam sehari.
Adapun persentasenya mencapai 43,89 persen.

Masih menurut riset GlobalWebIndex, orang Indonesia menghabiskan waktu di media sosial 203 menit per hari pada 2018.
Sedangkan pada 2019 turun menjadi 195 menit per hari.

Kesalahan orangtua yang ketiga adalah tidak menyadari diri mereka adalah pecandu dunia maya.
Nah, ini yang bahaya.
Bagaimana mengelola akses internet secara bijaksana kalau orangtua justru menjadi pihak yang kecanduan internet?

Mari melihat diri sendiri.
Berapa lama kita sanggup bertahan tidak menengok isi HP, melihat status, atau membuka web?
Biasanya kita akan kelimpungan sendiri manakala kuota habis atau sinyal internet mengalami gangguan.

Perilaku yang sebentar-sebentar buka HP dilihat anak-anak sebagai kewajaran.
Mereka akan meniru perilaku orang dewasa itu.

Tidak heran, anak-anak yang sulit dipisahkan dari HP biasanya meniru perilaku orangtua yang tidak menyadari bahwa dirinya kecanduan internet.

Tiga kesalahan itu mari ditebus dan ditanggulangi dengan tiga perilaku berikut ini:

1. Menyepakati jam keluarga tanpa HP

Monggo dimusyawarahkan bersama anggota keluarga kapan setiap orang stop mengakses internet.
Kalau perlu fasilitas wifi dimatikan pada jam-jam tertentu sesuai kesepakatan bersama.

Lalu ngapain setelah internet atau wifi mati? Ada "seribu" jenis kegiatan keluarga untuk mengisi jam tanpa HP dan internet.
Makan malam bersama, mengaji bersama, membaca buku bersama, diskusi bersama atau sekadar ngobrol bareng monggo lah mana yang asyik dan sesuai "karakter" keluarga masing-masing.

Pokoknya, pada jam itu semua anggota keluarga sepakat, mengakses internet hukumnya "haram".

2. Menetapkan jadwal penggunaan internet

Apabila anggota keluarga terbiasa dengan perilaku tanpa internet pada jam-jam tertentu, mengatur jadwal penggunaan internet akan lebih mudah.

Durasi penggunaannya bisa dibatasi.
Misalnya, dalam satu hari disepakati berapa jam akses internet dibuka.
Menjelang tidur akses dimatikan.
Regulasi dan mekanismenya dimusyawarahkan bersama.

3. Membuat "ruang publik" dalam keluarga

Maksudnya, anak-anak tidak dibiarkan sendirian mengakses internet di ruang tertutup seperti di kamar tidur pribadi.
Anak-anak dianjurkan berada di ruang tamu saat menggunakan internet.

Ruang tamu merupakan "ruang publik" bagi anggota keluarga.
Hal ini untuk memudahkan orangtua melihat, mengawasi dan mengontrol kegiatan anak saat berselancar di dunia maya.

Anggota keluarga yang lain juga bisa saling mengawasi dan mengontrol.
Prinsipnya, antar anggota keluarga perlu saling menjaga dan melindungi.

Akan lebih baik bagi orangtua dan guru, selain hanya mengecam dan menakuti anak akan bahaya internet, mereka juga membimbing dan menemani anak agar meninggalkan jejak digital yang positif.

Mengajarkan anak tentang publikasi personal yang menampilkan bakat, minat, prestasi, atau portofolio yang unik dan khas diri mereka bisa memperkuat personal branding pada jejak digital mereka.

Jejak digital yang positif bisa menjadi aset masa depan yang menguntungkan anak.

Pertanyaannya, apakah orangtua dan guru telak melek terhadap, minimal, bahwa internet tidak hanya terkait dengan media sosial dan berita-berita receh?
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer

Label

Arsip Blog

Postingan Terbaru