99judiqq
99judiqq - Kampung kecil, jauh di pedalaman tapi sudah ada yang menderita HIV.
Sudah kontak kepala Puskesmas Ayam dan sampaikan situasi ini," tutur Pastor Paroki Santo Martinus de Porez Ayam, Pastor Fransiskus Vesto Labi Maing, Pr.
Papua, surga yang jatuh ke bumi. Keindahan Papua tidak hanya membawa berkat, tetapi juga petaka.
Kini, di atas tanah berlimpah susu dan madu ini, orang Papua hidup berdampingan dengan HIV-AIDS.
Kedatangan virus ini ke tanah Papua bermula di Merauke.
Tahun 1992, empat orang ditemukan positif HIV di Merauke.
Sejak saat itu, dalam kurun waktu 28 tahun (1992-2020), tercatat 44.025 orang terinfeksi HIV-AIDS.
HIV-AIDS di Papua bagaikan jamur di musim hujan.
Ia tumbuh subur dan menyebar dengan cepat.
Ia merambat sampai di daerah pegunungan Papua.
Ia pun mengalir sampai ke Selatan Papua.
Bahkan ada kampung-kampung terpencil di Asmat, ada warga yang telah terinfeksi HIV-AIDS.
Umat di paroki, di kampung yang letaknya jauh di pedalaman, tetapi ada yang sudah positif HIV.
Lebih menyedihkan, dia belum dapat pengobatan, termasuk ARV.
Kegelisahan Pastor Vesto merupakan serpihan kisah HIV-AIDS di tanah Papua.
Selama 28 tahun, HIV-AIDS tak kunjung redah.
Satu per satu orang Papua terinfeksi.
Semakin hari jumlahnya semakin bertambah.
Padahal, pemerintah di 29 kabupaten/kota di provinsi Papua memiliki dana (anggaran) untuk upaya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS.
Meskipun demikian, realitas menunjukkan angka HIV-AIDS terus meningkat.
Apa permasalahan penanganan HIV-AIDS di provinsi Papua? Siapa harus mengurai benang kusut advokasi HIV-AIDS di provinsi Papua? Bagaimana menggerakkan semua elemen orang Papua untuk mendeklarasikan HIV-AIDS sebagai kekuatan yang mematikan orang Papua sehingga harus diatasi secara serius dan bersama-sama?.
Di tingkat provinsi Papua dan Kabupaten/Kota terdapat lembaga Komisi Penanggulangan AIDS (KPA).
Ia menjadi tempat berkumpul, berdiskusi sekaligus mengayomi elemen masyarakat yang peduli pada isu-isu HIV-AIDS.
KPA seyogianya menjadi "rumah bersama" setiap elemen yang peduli pada HIV-AIDS.
KPA seharusnya memiliki anggaran, kantor dan staf yang bekerja secara penuh di bidang HIV-AIDS.
Selain KPA, Dinas Kesehatan di tingkat provinsi Papua dan Kabupaten/Kota memiliki bidang dan seksi yang menangani HIV-AIDS.
Dinas Kesehatan, secara khusus bidang yang mengurusi HIV-AIDS memiliki kemampuan untuk mengorganisir upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Ada anggaran.
Ada tenaga/staf yang bekerja untuk isu HIV-AIDS.
Dinas Kesehatan dan KPA merupakan lembaga Negara, yang mendapat mandat untuk mengkoordinir gerakkan pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS.
Keduanya, pertama-tama harus memiliki persepsi yang sama tentang langkah-langkah konkret pencegahan HIV-AIDS di tingkat kabupaten/kota.
Setiap kabupaten/kota di provinsi Papua perlu memiliki komitmen teguh untuk menghentikan laju perkembangan HIV-AIDS di tanah Papua.
Hanya melalui komitmen kuat itulah, HIV-AIDS dapat diatasi secara bersama-sama, berkolaborasi dengan semua elemen masyarakat, termasuk tua-tua adat, tokoh agama, Gereja, pemuda dan perempuan serta NGO yang bergerak pada isu HIV-AIDS.
Benang kusut penanganan HIV-AIDS di provinsi Papua terkesan sulit teruraikan menjadi gambaran wajah kita dalam upaya pencegahan HIV-AIDS di kabupaten/kota.
Kita sedang bercermin pada epidemi HIV-AIDS yang melonjak.
Bagaimana wajah kita di hadapan virus mematikan ini? Berapa kabupaten/kota di provinsi Papua yang sungguh-sungguh peduli pada HIV-AIDS? Kita dapat menjawabnya sendiri berdasarkan pengalaman di kabupaten/kota masing-masing.
Kita melihat di dalam laporan, ada kabupaten-kabupaten yang bahkan sudah bertahun-tahun angka HIV-AIDS sama saja.
Benarkah demikian? Di sini, kita melihat bahwa komitmen kabupaten/kota dalam pencegahan HIV-AIDS belum maksimal.
Dampaknya, kita menuai ribuan orang Papua terinfeksi HIV-AIDS sebagaimana laporan yang dikeluarkan setiap tiga bulan itu.
Ribuan lainnya belum terdeteksi lantaran minimnya tes HIV massal di kabupaten/kota di provinsi Papua.
Meskipun demikian, kita masih dapat belajar dari kabupaten Merauke.
Misalnya, pada Desember 2019, Bidang Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan mengeluarkan data terkait HIV-AIDS di Merauke, 1992-2019, yang berjumlah 2.349 orang.
Kita dapat menyimak bahwa pada data tersebut, terdapat 30.078 orang melakukan VCT sepanjang tahun 2019.
Kesadaran melakukan VCT dari masyarakat memperlihatkan kerja kolaborasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Merauke, KPA Merauke dan semua elemen masyarakat di Kabupaten Merauke.
Semua pihak terlibat dalam usaha pencegahan dan penanggulan AIDS di Merauke.
Hasilnya, meskipun sudah 28 tahun, Merauke terbilang sedikit penderita HIV-AIDS ketimbang kota Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, Mimika dan Nabire.
Untuk mengurai benang kusut permasalahan penanganan HIV-AIDS di provinsi Papua, semua pihak perlu duduk bersama dan melakukan dialog guna mencari alternatif mengatasi virus yang sedang mengancam masa depan orang Papua ini.
Pimpinan daerah provinsi Papua, Gubernur, para Bupati/Walikota, perlu berbicara dan merumuskan langkah strategis pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS di provinsi Papua.
Selama ini, HIV-AIDS belum dilihat sebagai daya yang mematikan orang Papua.
Apabila telah ada kesamaan persepsi dari pimpinan daerah, Gubernur, Bupati/Walikota, tokoh agama, Gereja, Adat, Pemuda, Perempuan dan seluruh rakyat Papua, bahwa HIV-AIDS merupakan penyakit, kekuatan dasyat yang menghancurkan orang Papua, maka perlu ada langkah strategis dan konkret untuk mengatasinya.
Tanpa ada kesepahaman dan kesamaan persepsi tentang HIV-AIDS dan upaya pencegahannya, kita akan menuai kematian yang lebih banyak lagi di tanah Papua.
Di tanah Papua, kita telah hidup dengan HIV-AIDS selama 28 tahun. Kita telah kehilangan keluarga, orang tua, kakak dan adik akibat HIV-AIDS. Apakah kita masih membiarkan diri kita dan keluarga kita berada dalam ancaman virus mematikan ini? Kita perlu sadar bahwa kita berada di ambang kepunahan akibat HIV-AIDS. Kesadaran itu, seyogianya membangkitkan solidaritas kita untuk bersama-sama semua elemen masyarakat di Papua menghentikan laju perkembangan HIV-AIDS ini.
Selama 28 tahun, kita seperti gagal memerangi HIV-AIDS di tanah Papua lantaran sikap tertutup, kurang peduli dan menganggap biasa-biasa saja terhadap kematian demi kematian akibat HIV-AIDS.
Kita terlelap di dalam kenyamanan diri sendiri.
Kita kurang memiliki komitmen mencegah kematian orang Papua akibat HIV-AIDS.
Mulai saat ini dan ke depan, kita harus membangun kepedulian bersama, berkolaborasi dengan stakeholder pemerintah, tokoh agama, Gereja, Adat dan semua elemen masyarakat untuk menghentikan HIV-AIDS di tanah Papua.
Di setiap kabupaten/kota di provinsi Papua wajib menghidupkan KPA sebagai pusat koordinasi, informasi dan perencanaan strategis penanggulangan HIV-AIDS.
Sosialisasi HIV-AIDS perlu dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pemerintah, tokoh agama, Gereja, Adat, Pemuda dan Perempuan perlu mengambil bagian penuh dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS di setiap kabupaten/kota di provinsi Papua.
Demikian halnya, Dinas Kesehatan provinsi Papua, kabupaten/kota perlu menggerakkan unit-unit layanan Puskesmas, Pustu, Polindes, Posyandu untuk memberikan layanan kesehatan dan informasi tentang HIV-AIDS secara berkelanjutan.
Setiap pelaksanaan Puskesmas Keliling (Pusling), tenaga medis wajib memberikan sosialisasi dan informasi terkait HIV-AIDS di kampung-kampung terpencil.
Hanya dengan gerakkan semacam ini, kita dapat meminimalisir perkembangan HIV-AIDS di tanah Papua.
Segala niat baik dan kerinduan untuk menghentikan HIV-AIDS di tanah Papua, perlu mendapatkan dukungan dari pimpinan daerah, Gubernur, Bupati/Walikota, DPR Papua dan DPRD Kabupaten/Kota di tanah Papua.
Kebijakan anggaran di provinsi Papua harus memperhatikan kondisi HIV-AIDS yang saat ini bagaikan singa yang siap menerkam orang Papua.
Apabila tidak ada keseriusan dari pimpinan daerah provinsi Papua, Gubernur, Bupati/Walikota dan para wakil rakyat di DPRP dan DPRD, maka kita akan menuai badai kematian mengerikan akibat HIV-AIDS.
Dan tidak menutup kemungkinan, orang Papua bisa punah karena HIV-AIDS.
Sebelum semua itu benar-benar menjadi kenyataan, kita perlu bersatu dan bergerak bersama untuk menghentikan perkembangan HIV-AIDS di tanah Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar